𝗞𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗔𝗸𝘂 𝗠𝗲𝗹𝗮𝗻𝗱𝗮𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗯𝗮𝗵𝗮𝗴𝗶𝗮𝗮𝗻 𝗣𝗮𝗱𝗮 𝗨𝗮𝗻𝗴
Aku adalah manusia naif yang dikelilingi maksiat. Setiap 5 hari dalam satu minggu ku habiskan dengan bekerja didepan komputer kantor selama 12 jam lamanya. Di akhir bulan aku menerima gaji besar yang cukup untuk menghidupi diriku dan untuk berfoya-foya bersama teman kantorku.
Setiap awal bulan kurir selalu datang kerumah, mengantarkan paket-paket kesayangan yang ku nanti-nanti. Setiap bulan baju berganti, skincare juga bertambah, alat makeup dan sepatu sudah tidak muat lagi di lemari. Kulkas dan lemari makanan juga sudah penuh. Kuota melimpah dan uang juga cukup banyak.
Lalu? Apakah aku bahagia? Iya, awalnya aku sangatlah bahagia, kebahagiaan ku hanya sebatas memiliki uang atau tidak. Dengan uang aku bisa membeli banyak hal termasuk waktu bersama teman-teman. Dengan uang aku bisa menyombongkan diri seolah aku yang paling berkuasa diantara teman-teman. Bahagia sekali, setiap hari teman-teman yang membutuhkan uang mencari muka seolah mereka ingin aku terus ada didalam circlenya.
Aku melupakan Tuhan ku, melupakan dari mana aku berasal. Aku beranggapan bahwa kejayaan yang sedang kumiliki karena kerja keras dan usahaku sendiri. Semakin hari semakin menjadi-jadi saja, uang di tabungan habis untuk berfoya-foya. Kerjaan kantor dan deadline yang Bos minta ku abaikan. Hingga akhirnya aku dipecat.
Apakah teman-teman meninggalkan aku? Tidak, mereka tidak pergi tapi lebih tepatnya mereka tidak perduli. Satu persatu mereka ku kirimi pesan untuk menanyakan lowongan pekerjaan namun, sama sekali tidak ada balasan. Tagihan kartu kredit sudah memasuki jatuh tempo pembayaran, rumahpun juga harus di bayar cicilannya.
Suatu ketika aku lapar, kubuka kulkas dengan penuh harap, semoga ada makanan tersisa namun, kulkas kosong melompong dan dipenuhi dengan bau tidak sedap.
Aku bingung dan tidak tau arah, pikiran dan perutku kosong. Hingga, datanglah seorang teman kepelukanku. Ia adalah Awan, awan mengajakku pergi menuju sebuah masjid untuk salat Zuhur. Salat bagi Awan adalah kewajiban namun, bagiku adalah sebuah gengsi yang harus dilakukan saat bermain bersama teman yang "Alim."
Lepas salat kami duduk didepan teras masjid, memesan kopi dan gorengan untuk menghangatkan perut yang kala itu sedang hujan. Awan tidak menanyakan keadaanku serta tidak menuntutku untuk bercerita panjang perihal masalahku. Ia memberiku sebuah goddybag yang isinya adalah Al-Qur'an terjemah.
Aku tidak tau apa maksudnya namun, Awan berkata "bacalah, maka kamu akan tenang dan lebih bahagia." Aku mengangguk dan seolah mengerti padahal aku juga tidak yakin.
Sesampainya dirumah, satu persatu aku mengecek email dengan harapan ada balasan pesan dari perusahaan perihal lamaran pekerjaan yang kukirim. Namun, lebih seminggu sudah tidak ada jawaban.
Keseharian ku hanya diam dan melamun, tidak ada hal lain dan semakin hari aku semakin gelisah dan tidak tenang. Hingga aku tersadar dengan pemberian Awan. Iseng, aku mencobanya. Kebetulan azan salat Isya, aku bergegas mengambil wudhu dan membentangkan sejadahku menghadap kiblat. Salat dengan khusyu serta bertasbih selama setengah jam. Kemudian aku membuka Al-Qur'an pemberian Awan.
Allahuakbar, setelah membacanya selama satu jus hatiku tenang. Tanpa sadar air mata menetes, seperti banyak penyesalan yang ku ceritakan, padahal aku hanya membaca.
Setiap hari selama satu bulan aku terus membacanya bahkan mulai menghafalnya perhalaman.
Tiba-tiba handphone ku berdering, sebuah panggilan dengan nomor asing masuk ke teleponku. Ternyata nomor HRD perusahaan A. Aku senang saat itu meski posisiku hanya sebagai Front Office namun aku bahagia.
Aku mulai bekerja kembali, dengan gaji jauh lebih kecil dari gaji ku dulu sebagai manager. Namun ada perbedaan disini, aku jauh lebih bahagia dan tenang. Aku menjalani pekerjaanku dengan rasa syukur dan ikhlas setiap hari.
Berkat Awan aku kembali kepada jalan Tuhan, meminta, memohon, serta kembali hanya kepada Tuhan ku.
Kini aku tersadarkan dengan keras bahwa uang tidak menjamin kebahagiaan. Bahwa Allah selalu punya jalan untuk hambanya yang paling bersyukur dan bertakwa dijalannya. Apalagi sebulan setelah bekerja aku mampu menduduki posisi CEO, jabatan yang luar biasa. Jalan Allah selalu tidak terduga.
Kini aku sudah tidak menghambur-hamburkan uangku dengan mengatas namakan healing atau kesenangan. Healing adalah saat kita mampu menerima dan ikhlas. Aku healing dengan Al-Qur'an dengan lebih mendekatkan diri pada Allah.
Uang seberapapun tidak akan bisa membeli ketenangan kecuali mendekatkan diri kepada Allah. Kebahagiaanku tidak sebatas uang melainkan kebahagiaan ku ketika aku mendekatkan diri kepada Tuhan ku, Allah. Pelajaran yang akan selalu ku jadikan batu loncatan untuk kedepannya.
.
.
.
Ini hanya cerita fiktif yang dibuat untuk mengingatkan diri sendiri. Karena sejatinya diri sendirilah yang butuh pertolongan dan muhasabah yang panjang.
#selfreminder #selfimrovement
Komentar
Posting Komentar